Senin, 27 Desember 2010

diperbudak nyonya


diperbudak nyonya
Sebelumnya perkenalkan, aku adalah seorang pria yang sebut saja Reno dengan umur 28 tahun. Aku merupakan pria yang memiliki wajah lumayan ganteng dan tubuh yang kekar dengan tinggi 185 cm dan berat 81 kg. Tetapi pengalaman ini telah terjadi 3 tahun yang lalu saat aku masih berusia 25 tahun. Pengalaman yang aku alami sangat menyakitkan karena aku diperbudak oleh tiga orang nyonya yang haus sex sekaligus. Bukan hanya satu hari, dua hari atau tiga hari saja, tetapi dalam wakti satu minggu atau tujuh hari.

Cerita bermula ketika aku baru datang dari daerahku di daerah Sulawesi. Waktu aku datang, aku tidak memiliki pekerjaan yang pasti dan uang yang aku bawa hanya pas-pasan. Paling-paling uang tersebut hanya bisa untuk makan tiga hari saja. Aku memberanikan diri datang ke Jakarta karena kata temanku mendapat pekerjaan di Jakarta mudah asal mau melakukan apa saja semua bisa diatur.

Ketika hari sudah malam dan sepi, mungkin sekitar pukul 9 malam. Aku sudah tidak tahu mau kemana lagi. Tiba-tiba saja ada seorang wanita naik mobil Mercy menghampiri aku. Menanyakan keadaan aku, siapa namaku, dan asal aku. Dari penampilannya dia terlihat baik, anggun, cantik, sopan, dan sekitar berumur 36 tahun. Dia adalah Nyonya Lenny. Setelah sedikit kenal aku tahu bahwa dia seorang janda tanpa anak. Dia tinggal di daerah Pondok Indah. Dia adalah seorang Direktris dari sebuah Perusahaan Swasta terkenal di Jakarta.

Aku diperbolehkan tinggal di rumahnya. Dan aku bekerja sebagai supir pribadinya. Tanpa test apapun aku diterimanya bekerja. Untunglah kataku, karena aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi termasuk uang. Di rumah Nyonya Lenny aku diberi makan dan pakaian yang layak. Sedangkan barang-barang yang aku bawa sudah dibuang seluruhnya atas perintah Nyonya Lenny. Karena ia suka pada kebersihan rumah dan seseorang. Ya aku tidak memikirkannya, karena semua sudah diberikan oleh Nyonya Lenny. Barang-barangku tidak penting, hanya sebuah baju, celana, dan celana dalam yang kupakai. Sedangkan yang kubawa tertinggal di Stasiun Kereta waktu aku datang. Aku merasa beruntung karena bertemu dengan Nyonya Lenny.

Aku sudah bekerja dengan Nyonya Hanna selama 2 bulan berjalan. Hari ini aku disuruhnya menjemput dua orang temannya di Bandara. Mereka datang dari daerah Bandung dan akan menginap kurang lebih selama satu mingguan di rumah Nyonya Lenny. Setelah aku mengantar Nyonya Lenny ke kantor, aku langsung menuju ke Bandara untuk menjemput kedua temannya. Aku tidak kesulitan menemukan mereka, karena aku sudah memiliki foto-foto mereka. Dari foto terlihat mereka seorang Nyonya-nyonya yang cantik dan muda. Yang satu bernama Lola dan yang satu bernama Lina.

Lalu mereka aku antar langsung ke tempat Nyonya Lenny di kantornya. Mereka banyak mengobrol dan melepas kangen mereka. Setelah diberitahu oleh Nyonya Lenny ternyata yang bernama Lina berumur 34 tahun dan bekerja sebagai Kapten pada sebuah kantor kepolisian. Lola adalah seorang waria yang bekerja pada sebuah salon kecantikan dan berumur 30 tahun tanpa operasi, jadi masih memiliki penis tetapi Nyonya Lola memiliki payudara, makanya dia disebut waria. Nyonya Lenny juga berpesan agar aku juga menuruti perintah kedua nyonya temannya itu, seperti aku mematuhi perintah Nyonya Lenny. Aku hanya bisa patuh dan tentunya mengiyakan.

Hari ini aku diberitahukan bahwa Nyonya Lenny harus dijemput pukul lima tepat. Sedangkan para karyawan lain pada hari ini dipulangkan lebih cepat pada pukul 3 sore. Mungkin sekitar pukul 4 sore sudah tidak ada karyawan lagi selain Nyonya Lenny dan kedua temannya, yaitu Nyonya Lina dan Nyonya Lola. Selama dua jam mereka berbincang-bincang serius dan sepertinya akan merencanakan sesuatu dalam jangka panjang. Tapi apa rencana mereka aku sendiri tidak tahu. Karena aku pikir itu bukanlah urusan aku. Itukan urusan para Bos-bos besar. Sedangkan aku hanya seorang supir.

Setelah pukul lima tepat aku sudah sampai di kantor Nyonya Lenny. Dari luar terlihat sepi, karena tidak ada satu mobil pun di luar. Hanya lampu di ruang kerja Nyonya Lenny saja yang masih menyala, sedangkan yang lainnya sudah dipadamkan. Lalu aku menuju ruang kerja Nyonya Lenny dan mengetuk pintu.

Lalu terdengar suara "Silakan Masuk!!" kata Nyonya Lenny.
"Selamat Sore, Bu," kataku menyapa Nyonya Lenny.
"Apa yang harus saya lakukan, Bu?" tanya aku kepadanya.
"Hari ini kamu harus patuh kepada kami" dengan nada suara yang sedikit membentak.
"Baik, Bu saya akan patuh kepada ibu"

Mendengar kataku mereka bertiga malah tertawa terbahak-bahak. Lalu Nyonya Hanna menyuruhku untuk menandatangani sebuah kertas yang aku sendiri tidak tahu apa isinya. Karena aku sedikit takut, aku langsung saja menandatangani surat tersebut secara langsung.

"Bagus sekali!!" katanya sambil mereka tertawa senang Ha.. Ha.. Ha..!!

Setelah aku menadatangani surat yang sah karena diatas materai, mereka menyuruhku untuk membaca surat yang baru saja aku tanda tangani tadi. Betapa terkejut dan kagetnya aku. Didalam surat tersebut menuliskan aku harus sanggup dan tanpa paksaan harus melayani keinginan dan kepuasan sex mereka berdua tanpa batas. Surat ini dibuat tanpa paksaan karena aku masih memiliki setumpuk hutang-hutang yang harus aku lunasi. Dalam surat itu juga menuliskan kalau aku seorang budak mereka yang harus patuh. Hatiku jadi menjerit tapi pasrah atas tindakan dan sikap mereka. Memang aku dalam bekerja dua bulan ini sudah meminjam beberapa kali kepada Nyonya Lenny untuk memeberikan uang kepada orangtuaku yang sakit dan untuk membiayai sekolah dua orang adikku.

"Nah, Sekarang kamu buka siapa-siapa lagi. Kamu adalah budak sex kami. Karena kamu punya banyak hutang," kata Nyonya Lenny kepadaku.
"Iya, Bu" kataku pelan dan pasrah.
"Kau memang penurut. Lagi pula kalaupun kau tidak mau, apa yang bisa kau perbuat. Semua yang kau miliki sekarang adalah milikku. Kau tidak punya apa-apa lagi, termasuk baju dan celana kamu, bahkan celana dalam kamu pun milikku. Ha.. Ha.. Ha..!!" Mereka tertawa penuh kemenangan.
"Ya, Bu saya akan patuh pada perintah ibu."
"BUKAN IBU!!" bentak Nyonya Lenny, "Sekarang kamu harus memanggil kami dengan sebutan NYONYA"
"Kamu mengerti!!" bentak Nyonya Lenny Lagi.
"Baik, nyonya," kataku pelan.

Permainan akan segera dimulai. Aku hanya pasrah. Walaupun aku memiliki tubuh yang kekar dan atletis aku tidak bisa berbuat apa-apa terhadap mereka. Karena aku takut dan harus patuh kepada mereka. Walaupun aku mau lapor ke polisi juga susah karena Nyonya Lina adalah Seorang Kapten Polisi yang terkenal Killer.

Permainan segera dimulai. Baik sekarang, "Buka baju kemejamu!!" bentak Nyonya Lenny.

Aku segera membuka kancing kemeja yang aku kenakan. Mereka sangat menyukai tubuhku. Karena tubuhku atletis dan kekar. Dada dan perutku terawat dengan baik, apalagi aku juga dibiayai untuk fitness oleh Nyonya Lenny agar aku sehat dan bugar dalam menyetir. Setelah aku telanjang dada, lalu Nyonya Lenny menyuruhku untuk melepas sepatu dan kaos kaki yang aku kenakan dan jam tanganku juga aku lepaskan. Lalu Nyonya Lola yang waria menyuruhku untuk membuka celanaku. Tapi aku hanya diam saja dan tidak menghiraukannya. Tapi aku malah mendapat marah dari Nyonya Lenny dan dia melempar aku dengan sebuah spidol yang ada diatas mejanya.

"Kamu harus patuh pada temanku, Nyonya Lola," bentak Nyonya Lenny.
"Sekarang lepas celana panjangmu!!"
"CEPAT!!" bentak Nyonya Lenny.

Melihat aku melepas celana panjangku, Nyonya Lola tertawa bahagia penuh kemenangan. Sekarang aku hanya mengenakan celana dalam saja yang berwarna putih. Mata mereka tertuju kearah tubuh dan penisku yang masih terbungkus dengan celana dalam yang masih kukenakan.

Lalu Nyonya Lina menghampiriku dan memelintir tanganku ke belakang. Lalu Nyonya Lina mengeluarkan borgolnya dan memborgol kedua tanganku ke belakang. Sedangkan Nyonya Lola mengambil gunting dan mengunting celana dalam yang aku kenakan. Sekarang aku sudah dalam keadaan polos tidak ada sehelai pun yang ada di tubuhku. Mereka puas dan tertawa melihat aku dalam keadaan bugil. Semua pakaianku disita oleh Nyonya Lenny dan dimasukkan dalam lemari besi pada ruangannya.

Lalu aku di dudukkan di kursi dalam keadaan tangan di borgol dan mata ditutup dengan sehelai kain. Aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan kepadaku. Tiba-tiba ada yang memegang penisku. Rupanya salah satu dari mereka sedang mencukur bulu kemaluanku. Kini bulu kemaluanku pun sudah bersih, kini aku tidak memiliki bulu lagi disekitar penis. Lalu penisku juga dicengkram dan dikocok-kocok dengan kuat.

Hampir saja aku keluar, tapi semua itu dapat kutahan sementara. Penisku kini sudah tegak, tegang, dan memerah. Lalu mereka mengikat penisku dimulai dari bola pelir. Mereka ikat secara terpisah dan diikat keduanya secara bersama dengan disatukan. Begitu juga dengan kepala penisku, mereka ikat dengan pengunakan bahan dari karet sehingga kepala penisku benar-benar terikat dengan kuat. Sehingga penisku tidak mau melemas. Selain itu mereka juga memberikan aku obat kuat berupa tiga butir yang harus aku minum. Mungkin hal itu yang membuat penis aku dapat tegang lama. Dan mereka mengatakan bahwa aku harus minum obat ini sehari dua kali sebanyak tiga butir.

Lalu mereka menjepit kedua puting susuku dan dihubungkan pada tali di kepala penisku. Aku benar-benar tidak berdaya dan pasrah karena tanganku masih diborgol dan mataku masih tertutup kain. Seketika mereka membuka tutup mataku dan juga borgolku. Lalu mereka menyuruhku bergaya dengan beberapa gaya. Aku pun menurut. Lalu kilatan lampu blitz memancar kearah aku. Mereka memotret aku dalam keadaan seperti itu. Mereka memotretku dengan kamere digital dan juga merekam dengan handycam.

Akupun diancam tidak boleh macam-macam, karena foto-foto bugil aku akan disebar jika aku bertindak macam-macam. Termasuk mereka juga akan menyerahkan fotoku kepada keluaragaku di kampung. Mendengar itu, aku semakin menuruti semua keinginan mereka. Kini aku duduk sambil berlutut, karena hanya seperti itu hak dan tempatku sekarang.

Sekarang aku dipakaikan kalung anjing lengkap dengan rantai pengiringnya. Selain itu mereka juga membungkam dan menutup mulutku alat penutup yang menyerupai bola, sehingga mulutku terbuka. Lalu aku disuruh merangkak layaknya seekor anjing. Setiap gerak-gerikku sudah terekam baik dalam foto maupun kamera.

Sekarang mereka membawa aku keluar kantor dengan menarik rantai pada leher aku. Aku berjalan di depan mereka, sesekali mereka menendang dan mencambuk pantatku dan pnggungku sewaktu aku berjalan lambat ataupun terlalu cepat. Kami berjalan menuju mobil yang sudah kuparkir. Keadaan kantor sudah sepi dan aman termasuk ruang parkir hanya ada mobil Nyonya Lenny saja. Karena satpam juga sudah diperbolehkan pulang sejak jam tiga tadi.

Sekarang jam menunjukkan pukul tujuh malam. Aku masuk kedalam mobil dan duduk dibelakang tapi tidak di kursi melainkan dilantai mobil. Mereka juga kembali memborgol dan menutup mataku. Nyonya Lina membuka penutup mulutku. Dalam keadaan itu aku disuruh untuk menjilati vagina Nyonya Lina. Aku menuruti kemauannya, aku jilati vaginanya dan Nyonya Lina memegangi kepalaku agar terus menjilati vaginanya. Aku terus-menerus menjilatinya vaginanya termasuk klitorusnya menjadi santapan aku waktu itu.

Semua itu terjadi sampai kira-kira lima belas menit dan Nyonya Lina terus menerus mendesah dan mengerang keenakan. Mobil Nyonya Lenny sudah dilengkapi dengan alat peredam suara sehingga suaranya tidak akan terdengar keluar. Tak lama kemuadian aku merasa ada cairan yang keluar dari vaginanya. Lalu Nyonya Lina Semakin Menekan kepalaku dan menuruhku untuk buka mulut dan meminum cairan yang keluar dari vaginanya. Terdengara suara decap-depap anatara vagina dan mulutku. Aku menjilati dan menelan semua cairan yang keluar dari vaginanya. Memang rasanya aneh dan asing bagiku. Ada rasa asin dan bercampur dengan rasa aneh bagiku. Tapi aku meminum dan menalan semuanya sampai habis. Nafas Nyonya Lina semakin memburu dan terlihat dia senang dan puas.

Sesudah Nyonya Lina, lalu rantai yang aku kenakan ada yang menariknya. Rupanya yang menariknya adalah Nyonya Lola yang seorang Waria. Aku disuruh untuk menjilati penisnya dan meminum sperma yang nantinya akan keluar. Aku masukkan penisnya kedalam mulutku. Sesekali Nyonya Lola Mendesah penuh nikmat terhadap hisapanku terhadap penisnya. Sesekali Nyonya Lola juga menyryhku untuk menjilati lubang anusnya.

Semula aku tidak mau, tapi kepalaku ditekan ke lubang anus dan aku mendapat cambukan dan tamparan karena tidak menurut. Nyonya Lola semakin keenakan mendapat jilatan di anus dan hisapan pada penisnya. Gerakan hisapan semakin aku percepat saja. Dan tidak lama kemudian Nyonya Lola menekan kepalaku, rupanya ia mencapai klimaks. Cairan spermanya kental dan masuk kedalam mulutku dan aku terpaksa menelannya. Hampir sama rasanya, memiliki rasa manis-manis asin.

"Rupanya kamu pintar ya, ha.. Ha.. Ha.. Dan enak kan rasa cairannhya ha.. Ha.. Ha.." kata mereka kepadaku.

Sesudah itu aku terdiam saja dan suasana menjadi hening. Mungkin Nyonya Lina dan Nyonya Lola tertidur. Karena perjalanan yang jauh menuju puncak di Villa milik Nyonya Lenny. Aku sendiri tidak tahu ada dimana dan tidak berdaya dalam ikatan borgol, tetapi penisku masih tegak berdiri karena adanya ikatan yang kuat dan pengaruh obat kuat yang diberikan oleh Nyonya Lenny.

Tak lama kemudian terdengar mesin mobil dimatikan. Berarti sudah sampai di villa Nyonya Lenny. Udara sangat dingin waktu itu. Penutup mataku dibuka dan aku disuruh berjalan merangkak layaknya seekor anjing. Tapi lain untuk kali ini. Karena mereka menunggangi aku seperti kuda. Jadi aku harus mengantarkan mereka satu persatu dari mobil menuju villa tersebut Sambil sesekali aku dicambuk dan punggungku ditetesi lilin. Setelah mengantarkan mereka bertiga aku sungguh kelelahan. Sesudah sampai disana terlihat mereka bertiga kelelahan, karena dua dari mereka baru saja mencapai klimaks dan Nyonya Lenny sudah kecapaian karena menyetir.

Lalu mereka membawa aku ke ruang belakang dan memasukkan aku kedalam kandang yang sempit, mungkin hanya sebesar 2,5cm x 2 cm saja. Tapi sebelumnya aku sudah diberi semangkuk susu dan sepiring roti yang dihancurkan kecil-kecil. Tentu saja aku hanya bisa makan dan minum menggunakan mulut dan lidahku saja. Lalu mereka meninggalkanku sendiri sambil makan. Nyonya Lenny mengatakan bahwa makanan itu harus habis bila ia lihat besok.

Tanganku tetap diborgol kebelakang, jadi aku tidak bisa berbuat banyak, tapi tetap aku berusaha menghabiskan roti dan susu tersebut. Setelah habis separuh makanan tersebut, Nyonya Lenny menghampiri aku dan memasukkan tiga butir obat kuat kemulutku. Dan aku menelannya dengan segelas susu pemberian Nyonya Lenny. Lalu mereka meninggalkan aku sampai besok pagi. Aku pun berusaha untuk tidur. Tapi sulit tetapi aku tetap berusaha untuk memejamkan mata.

Keesokkan paginya aku di bangunkan oleh Nyonya Lenny dengan kasar. Nyonya Lenny mengedor pintu kandang yang terbuat dari besi dengan mengunakan kayu sehingga mengeluarkan bunyi suara besi yang nyaring. Hal itulah yang membuat aku bangun. Melihat masih ada sisa sedikit makanan tadi malam, Nyonya Lenny marah dan mencambuk aku serta menendang pantat aku. Aku jadi sedikit terjatuh.

Dan Nyonya Lenny memakiku, "Dasar Anjing Kau!!" kata Nyonya Lenny.
"Hari ini kamu makan Cuma sekali dan hanya setengah porsi dari kemaren!!" katanya lagi.
"Itu semua karena ulah perbuatanmu sendiri, Anjing," kata Nyonya Lenny.

Lalu Nyonya Lenny menarik rantai kekang leherku menuju ke kamar mandi. Dia melepaskan pengikat leher, rantai kekangku dan juga taili yang mengikat penisku, tapi dia tidak membuka borgol tanganku. Lalu datang Nyonya Lina dan Nyonya Lola. Mereka menyuruhku untuk buka mulut dan meminum air kencing mereka. Aku terpaksa harus menuruti kemauan mereka. Aku dibaringkan di lantai kamar mandi. Mereka mengencingi wajahku, sebagian besar dari air kencing mereka masuk ke dalam hidung dan mulutku dan terpaksa aku menelannya. Rasanya sangat berbau pesing dan asin.

Setelah itu mereka bertiga memandikan aku dengan banyak sabun dan busa, sambil sesekali mereka mengocok penisku tapi tidak sampai klimaks. Mereka beriga sangat kompak dalam membagi tugas dalam memandikan aku. Pertama Nyonya Lina Menyabuni Badanku dan memainkan puting susuku. Nyonya Lenny Menyabuni penis dan kakiku kebawah sambil sesekali mengocok. Sedangkan Nyonya Lola menyabuni punggungku dan kadang-kadang memainkan anusku. Mereka melakukan itu semua sambil berganti-ganti tugas. Sedangkan aku hanya diam dan sesekali mendesah keenakan.

"Ah.. Akh.. Akh.." Melihat aku hampir klimaks mereka berhenti dan menguyur tubuhku air dingin dari shower. Sangat dingin sekali, karena udara pagi dan air daerah puncak yang terkenal sangat dingin.

Setelah bersih dari busa mereka secara bergantian menjilati penisku dari mulai pelir dan penisnya termasuk kepala penis. Nyonya Lola menjilati lubang anusku. Sedangkan Nyonya Lenny asik dengan penisku. Aku sungguh sangat menikmati perlakuan itu. Sebagi lelaki sungguh aku sangat senang dan menikmatinya, sangat nikmat.

"Akh.. Akh.. Oh.. Uu.. Ahh.."

Akhirnya tidak lama aku keluar didalam mulut Nyonya Lenny, Crot.. Crot.. Crot..

Aku merasa muncrat banyak sekali ke dalam mulut Nyonya Lenny. Lalu Nyonya Lenny membagi spermaku kepada Nyonya Lola dan Nyonya Lina. Tidak hanya itu Nyonya Lenny juga membagi spermaku sedikit denganku. Dia memasukkan ludahnya yang bercampur sperma kedalam mulutku. Nyonya Lenny membekap mulutku sehingga aku tidak bisa membuangnya dan aku menelannya.

Lalu Nyonya Lola menghisap penisku dan membersihkan sisa-sisa sperma yang ada. Setelah itu mereka kembali membersihkan tubuh dan pensiku. Lalu Mereka mandi secara bersama-sama. Sedangkan aku hanya berdiri di pojok kamar mandi sambil memperhatikan kegiatan mereka. Mereka kadang-kadang melakukan adengan lesbian. Ada yang menjilat, menghisap, dan berciuman satu dengan yang lainnya.

Setelah bersih mereka berganti pakaian serba hitam dan ketat. Lalu mereka menjemput aku dari kamar mandi. Lalu dipasangkan kembali rantai kekang di leherku. Mereka mengiring aku menuju kamar tidur mereka. Kamar tidurnya sangat luas dan besar. Juga ada kamar mandi didalamnya. Ada ranjang yang sangat besar dan dipinggir-pinggir di keempat sisi ranjang ada borgol masing-masingnya. Jadi jumlahnya ada empat borgol. Lalu mereka melepaskan borgol tanganku dan melepaskan rantai kekang leherku.

Mereka merebahkan aku di ranjang besar tersebut. Ranjangnya sedikit besar, jadi tangan dan kakiku sedikit tertarik dengan borgo tersebut. Sekarang tubuhku sudah berbentuk huruf X dan aku kembali tidak berdaya kali ini. Tangan dan kakiku sulit untuk digerakkan karena keempat borgol sudah mengunci erat-erat tangan dan kakiku. Setelah memborgol aku, mereka menutup mataku dengan kain berwarna hitam. Sekarang aku sudah tidak berdaya lagi dalam keadaan yang gelap gulita. Mereka memasangkan sebuah penjepit pada kedua ujung puting susuku, lalu menjepitkan tiga buah penjepit disekitarnya. Mereka juga menjepit kulit penisku yang masih dalam keadaan terikat dan masih tegak berdiri. Mungkin kira-kira ada lima atau enam penjepit di daerah penisku.

Aku hanya bisa merintih kesakitan dan melenguh panjang untuk menahan sakit.

"Akh.. Akh.. Akh.. Uh.. Sakit..," kataku kepada mereka.

Tapi mereka malah membentak, memarahi, dan mentertawakan aku. Mereka puas melihat aku seperti itu tidak berdaya. Lalu mereka mengambil dan meneteskan lilin panas yang besar ke arah puting susuku, dada, perut, ketiak, dan pahaku. Semua tubuhku terasa terbakar dan aku sangat kepanasan. Tapi itu belum berakhir, lalu lilin-lilin panas tersebut diarahkan ke selangkanganku dan yang paling utamanya adalah bola pelir dan penisku. Mereka meneteskan beberapa tetes cairan lilin panas ke arah bola pelirku kira-kira tiga puluh tetes. Selain itu, mereka juga meneteskan kepala penisku dengan cairan lilin panas. Aku keperihan dan keskitan sekali sambil berteriak dan mengerakkan pinggulku tidak karuan.

Setelah puas dengan lilin dan tubuhku, mereka menarik semua penjepit yang ada ditubuhku dengan kasar. Tentu saja aku berteriak sejadi-jadinya waktu itu. Sejenak kira-kira lima belas menit mereka meninggalkan aku. Karena waktu itu jam sudah menunjukkan jam tiga sore. Mereka sudah menyiksaku kira-kira lima jam sedari pagi.

Semua kejadian itu secara terus menerus terjadi kepadaku. Selama satu minggu aku disiksa secara sadis. Selama satu minggu pula aku tidak pernah berpakaian dan diberi makanan layaknya seekor anjing. Pada hari terakhir aku diajak untuk berkeliling tapi masih dalam keadaan telanjang. Lalu aku disuruh turun dijalan raya yang sedikit ramai. Lalu aku disuruh mereka menyeberang dalam keadaan telanjang. Aku sungguh malu waktu itu. Tapi apa boleh buat, semua aku lakukan dengan pasrah. Lalu setelah naik ke mobil aku dibawa pulang ke jakarta kembali karena kedua teman Nyonya Lenny sudah akan kembali ke kotanya masing-masing. Aku ikut mengantar tapi hanya di mobil karena aku masih belum berpakaian alias masih telanjang bulat.

Setelah mengantar kedua temannya, Nyonya Lenny kembali ke mobil. Dan Nyonya Lenny menyuruhku untuk menyetir mobilnya dalam keadaan masih telanjang. Aku menurut dan langsung mengemudikan mobil. Di dalam mobil, Nyonya Lenny mengocok dan mengoral penisku. Selama perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua jam, Nyonya Lenny mengoral dan mengocok penisku dengan kasar. Selama perjalanan aku sudah mencapai klimaks tiga kali. Aku sungguh lelah waktu itu.

Kejadian itu sampai sekarang masih teringat dalam ingatan aku. Sampai sekarang aku masih menjadi sopir Nyonya Lenny sekaligus menjadi budak sex Nyonya Lenny. Nyonya Lenny sering menyuruhku untuk menari telanjang, memuaskan Nyonya Lenny maupun Nyonya-Nyonya lain teman Nyonya Lenny. Selain itu aku juga harus memuaskan Nyonya Lenny baik dalam BDSM maupun dalam sex normal saja. Karena aku tidak diperbolehkan untuk pulang kampung ataupun berhenti bekerja. Karena Nyonya Lenny memiliki foto dan video telanjang aku. Selain itu juga, aku masih memiliki pinjaman yang belum aku lunasi. Setiap melakukan hubungan sex pasti Nyonya Lenny merekam dan memotretku. Selain itu, setiap mencapai klimaks aku harus meminum cairan Nyonya Lenny. Tetapi Nyonya Lenny juga menyukai cairan spermaku, yang katanya bisa buat obat awet muda.

Terima kasih telah membaca ceritaku. Mohon kasih tanggapan yang positif dan negatif atas cerita aku ini.
diperbudak seorang nyonya
Aku adalah seorang mahasiswa semester akhir. Sejak berusia 16 tahun aku merasakan bahwa aku mempunyai perilaku seks yang menyimpang. Sebagai laki-laki, aku justru lebih suka untuk didominasi oleh wanita. Aku sering membayangkan suatu keadaan dimana aku dicaci, dihina, direndahkan, dan disiksa secara sadis oleh seorang wanita.

Saat aku menginjak semester delapan, aku mendaftarkan diri pada sebuah situs BDSM dan berhasil berkenalan dengan seorang wanita berusia 30 tahun yang suka menjadi dominan. Dia adalah Nyonya Hana. Perkenalan awal lewat internet kemudian berlanjut ke pertemuan kami. Ternyata Nuonya Hana adalah seorang manajer personalia di sebuah hotel. Dia tidak cantik, namun berpenampilan anggun. Singkat cerita, kami pun saling cocok.

Sejak awal bulan Juli, kami pun sepakat untuk menjadi pasangan majikan dan budak. Aku berkewajiban untuk melayani Nyonya Hana kapan pun dia menginginkanku. Aku juga harus mematuhi seluruh perintah-perintahnya dan menerima semua yang dilakukannya kepadaku. Termasuk hinaan dan siksaan. Sedangkan Nyonya Hana, dia memiliki hak penuh untuk melakukan apa saja yang disukainya kepadaku. Aku tidak lebih dari barang-barang miliknya yang lain. Dan aku tidak menerima imbalan apapun. Imbalanku adalah kesenanganku.

Aku akan bercerita sebagian pengalamanku selama jadi budak Nyonya Hana. Saat itu hari sudah malam. Sekitar pukul delapan malam. Telepon di kontrakanku berdering. Kebetulan aku yang mengangkatnya. Ternyata itu adalah Nyonya Hana. Dia memintaku untuk datang ke alamat villa sewaannya dan melayaninya malam itu juga. Tentu saja aku tidak dapat menolak. Dia adalah majikanku. Dan aku pun berangkat malam itu.

Nyonya Hana sudah menungguku saat aku tiba di villa. Dia berpakaian serba hitam yang mengkilap. Tanpa basa-basi lagi, dia lalu menyuruhku untuk melepas seluruh bajuku. Aku menurutinya. Kini tubuhku telanjang bulat tanpa selembar kain pun. Nyonya Hana lalu mendekatiku. Dia melumat bibirku dan meremas kemaluanku. Penisku pun mengeras. Nyonya Hana meraba seluruh tubuhku dan membuatku semakin terangsang.

Di tengah permainan itu, dia berhenti. Nyonya Hana lalu menyuruhku untuk memasuki ruang belakang. Di sana ternyata sudah terdapat tali panjang yang menggantung pada kayu besar yang melintang di tengah ruangan. Dia lalu mengikat kedua tanganku pada tali itu. Kini aku sama sekali tidak berdaya. Kedua tanganku diikat menyatu ke atas pada tali itu dan aku pun terpaksa harus berjinjit pada kedua ujung kakiku karena tali itu ternyata terlalu tinggi.

Nyonya Hana mengelilingi aku sebentar, lalu dia pergi ke arah meja dan mengambil sebuah cambuk berwarna hitam. Semenit kemudian, dia sudah berdiri di belakangku.
Dia lalu mendekatiku dan berkata, "Hei budak, kamu adalah milikku dan saat ini aku ingin sekali menyiksa kamu. Kamu tahu? Aku sangat puas jika melihat kamu berteriak kesakitan."
Aku diam saja. Aku hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi berikutnya.

Tiba-tiba. Tar! Tar! Dua cambukan menghajar punggungku dengan keras. Aku berteriak keras. Rasanya sakit sekali. Nyonya Hana tertawa puas melihat tubuh bugilku menggeliat menahan sakit yang amat sangat. Dia tidak berhenti sampai di situ. Nyonya Hana terus mencambukku sampai sekitar 200 cambukan. Punggungku terasa amat sakit dan panas karena sobek dan mengeluarkan darah. Tubuhku sudah basah dengan keringat dan terasa lemas. Tapi anehnya, aku menikmatinya. Inilah yang kuimpikan sejak dulu, disiksa dan direndahkan oleh wanita.

Setelah puas dengan cambukan, dia melepas ikatan tanganku. Dia lalu memindahkanku ke kamar tidur. Dia lalu mengikat kedua tangan dan kakiku dengan tali ke masing-masing sudut tempat tidur. Kini aku telentang dalam keadaan terikat dan telanjang seperti huruf X.

Nyonya Hana lalu meraih kotak tempat dia menyimpan alat-alat penyiksaan dan mengambil dua buah jepitan buaya yang bergigi tajam dan terkenal kuat cengkeramannya. Aku menunggu dengan hati berdebar-debar. Seperti yang kuduga, Nyonya Hana meraih putingku dan menjepitkan jepitan buaya itu hingga daging kedua putingku terjepit erat. Rasanya sakit sekali. Aku berteriak dan meronta. Tapi tubuhku terikat erat oleh tali di tempat tidur. Aku tidak berdaya.

Selang beberapa menit, aku pun kembali tenang. Nyonya Hana kembali mendekatiku, dan kali ini dia membawa sebuah lilin merah dengan diameter besar, seperti yang sering dipakai di kuil-kuil. Dia lalu menyalakan lilin itu. Setelah lilin terbakar, Nyonya Hana lalu memiringkan lilin yang dibawanya dan meneteskan lilin panas yang meleleh di atas tubuhku yang telanjang. Satu tetesan pertama mendarat tepat di atas putingku yang terjepit oleh jepitan buaya. Aku berteriak histeris. Rasanya seperti di neraka. Tetapi Nyonya Hana hanya tersenyum.

Dia lalu meneteskan lilin itu ke bagian-bagian tubuhku yang sensitif. Dada, perut dan paha tidak luput dari tetesan cairan lilin panas. Tubuhku semakin berkeringat dan menggelinjang menahan panas. Aku merasakan siksaan yang amat sakit. Aku hanya dapat mengerang kesakitan dan memohon belas kasihan Nyonya Hana.

Setelah sebagian besar tubuhku tertutup lilin panas yang mengering, Nyonya Hana kemudian melepaskan ikatan kedua kakiku. Dia lalu mengangkat kedua kakiku ke atas dan kemudian ditekan dalam keadaan mengangkang ke arah dada. Kini aku hampir dapat mencium kedua lututku. Nyonya Hana lalu mengikat kedua kakiku dengan tali pada ujung sudut-sudut tempat tidur yang digunakan untuk mengikat kedua tanganku. Kini aku semakin tidak berdaya. Selain ikatan tubuhku semakin kuat, aku juga telah banyak kehilangan tenaga.

Dalam keadaan seperti ini, kedua kakiku dalam keadaan mengangkang ke atas dan pantatku pun tepat berhadapan dengan Nyonya Hana. Dia kembali menyalakan lilin. Saat itu aku sudah mulai ketakutan.
"Ampun, Nyonya.., ampun. Tolong, ampuni saya. Jangan siksa saya lagi, Nyonya..!" aku merintih memohon belas kasihan Nyonya Hana.
Dia hanya tersenyum.

Nyonya Hana lalu memiringkan lilin yang tadi dinyalakannya ke arah pantatku yang terbuka. Tes.. Tes.. Tes. Sekian banyak tetes lilin mengalir deras di daerah pantatku. Aku berteriak sekuat-kuatnya untuk menahan sakit. Tidak hanya sampai di situ saja siksaan yang kualami. Pada tetesan yang entah ke berapa puluh kalinya, Nyonya Hana kemudian mengarahkan lilinnya ke anusku. Tidak dapat dielak lagi, cairan lilin panas itu menghujani daerah anusku dan sebagian masuk ke lubang anus.

Kali ini aku tidak hanya berteriak tapi juga membentur-benturkan pantatku ke tempat tidur untuk menahan sakit. Nyonya Hana tertawa terbahak-bahak melihatku kesakitan dalam keadaan telanjang dan terikat tidak berdaya. Aku tidak lebih dari kelinci percobaan Nyonya Hana.

Ternyata Nyonya Hana belum puas. Dia masih kembali memiringkan lilinnya ke arah tubuhku. Kali ini sasarannya adalah kemaluanku. Tanpa basa-basi lagi Nyonya Hana meneteskan lilin-lilin panas bertubi-tubi ke arah penisku. Aku kembali berteriak kesakitan. Badanku bergetar dan aku merasa ingin pingsan. Nyonya Hana tertawa penuh kemenangan.
Dia lalu mendekati wajahku dan berkata, "Rasakan, budak..!"

Sedetik kemudian, kedua tangan Nyonya Hana menarik jepitan buaya di kedua putingku dengan tarikan keras dan panjang. Aku benar-benar berteriak histeris. Malam itu aku disiksa dengan cara-cara yang teramat sadis dan keji. Setelah puas menyiksaku dengan sadis, Nyonya Hana melepaskan ikatanku dan juga jepitan buaya di putingku. Rasanya seperti diiris dengan pisau. Kedua putingku terasa sakit dan mengeluarkan darah.

Nyonya Hana kemudian memakaikan sebuah kalung anjing di leherku dan menyuruhku untuk berjalan merangkak mengikutinya seperti seekor anjing. Dia ternyata membawaku ke halaman belakang. Di situ terdapat sebuah kandang anjing yang kosong. Nyonya Hana meyuruhku untuk masuk ke dalamnya. Aku menuruti perintahnya. Dia lalu menutup pintu kandang dan menguncinya.

Nyonya Hana lalu berkata, "Nah, budak, kamu sekarang bisa tidur dulu. Aku ada janji malam ini dengan seorang pria yang jantan dan macho. Dia benar-benar cowok idaman. Setidaknya tidak seperti kamu. Bagiku, kamu adalah budak belian yang hina yang tak lebih dari seekor anjing. Nah, sekarang tidurlah seperti seekor anjing..!"

Nyonya Hana kemudian meninggalkanku sendirian di kandang anjing. Dia pergi ke arah kota untuk minum-minum di kafe. Sementara itu, tubuhku menjadi sasaran nyamuk-nyamuk kelaparan. Aku benar-benar diperlakukan seperti budak malam itu. Dicaci, dihina, direndahkan dan disiksa secara sadis oleh majikanku. Dan kini aku diperlakukan tidak lebih dari seekor binatang. Untungnya, malam itu aku dapat juga tidur walaupun hari sudah menjelang pagi.

Keesokan harinya, aku dibangunkan secara kasar oleh Nyonya Hana pagi-pagi sekali. Mungkin sekitar pukul enam pagi. Tubuhku masih terasa sakit dan penat karena siksaan semalam. Tapi bagaimanapun juga aku berusaha untuk bangun. Aku tidak berani untuk melawan majikanku. Aku kemudian diberinya pakaian yang pantas dan dipaksa untuk masuk ke mobil. Kami kemudian pergi ke arah luar kota.

Sekitar setengah jam perjalanan, kami melewati jalan raya kecil yang di kanan kirinya masih merupakan hutan, walaupun bukan hutan liar. Tiba-tiba Nyonya Hana membelokkan mobilnya ke kiri dan masuk ke sebuah jalan tanah. Dia baru berhenti setelah kami tidak terlihat dari arah jalan raya karena terlindung pepohonan.

Nyonya Hana lalu menyuruhku turun. Dia lalu memerintahkanku untuk melepaskan seluruh pakainku. Aku tidak dapat menolak. Kini aku pun kembali telanjang bulat bersama Nyonya Hana di tengah hutan. Nyonya Hana kemudian menyuruhku untuk mengikutinya menuju ke sebuah sungai yang ada di situ. Dia kemudian memerintahkan aku untuk mengotori seluruh badanku dengan lumpur sungai yang ada di situ. Aku pun melakukannya. Nyonya Hana melihatku dengan tersenyum puas. Aku melumuri seluruh badanku dengan lumpur termasuk wajahku. Setelah selesai, Nyonya Hana kemudian mengacak-acak rambutku, sehingga penampilanku seperti orang gila saat itu.

Tidak berhenti sampai di situ, Nyonya Hana lalu memberiku tulang ayam goreng yang sudah sedikit dagingnya. Dia lalu mengatakan padaku bahwa dia akan membawa pergi pakaianku dan menungguku di seberang hutan yang lain yang telah ditunjukkannya padaku melalui peta. Jaraknya kurang lebih lima kilometer. Untuk mencapai tempat itu, aku harus berjalan melalui pinggir jalan raya dalam keadaan telanjang dan sambil memakan tulangan ayam. Aku benar-benar merasa direndahkan saat itu. Tapi sekali lagi, aku justru menikmatinya.

Tidak berapa lama, Nyonya Hana benar-benar meninggalkanku sendirian di dalam hutan. Setelah Nyonya Hana pergi, aku pun mulai berjalan ke arah jalan raya. Sampai di batas pepohonan yang menutupiku dengan jalan raya kecil itu, aku mulai ragu. Meskipun bukan jalan raya besar, jalan raya itu cukup ramai dengan kendaraan yang lalu lalang. Tetapi aku juga tidak tahu jalan lain untuk menuju tempat Nyonya Hana menunggu selain melalui jalan itu. Untuk berjalan melalui hutan, aku tidak berani mengambil resiko. Bisa-bisa aku tersesat karena tidak tahu arah sama sekali. Aku juga tidak dapat terus-terusan tinggal diam di situ karena aku tidak punya pakaian selembar pun. Bagaimanapun juga aku harus menemui Nyonya Hana di seberang hutan.

Akhirnya, aku nekat juga. Pelan-pelan aku keluar dari pepohonan saat jalan raya sepi. Tetapi, itu tidak berlangsung lama. Sebentar kemudian sebuah mobil pick up yang bagian belakangnya penuh dengan penumpang terlihat dari jauh. Setelah dekat dan melihatku, mereka bersorak-sorak ramai mengejekku dengan kata-kata kotor. Ternyata, di bagian belakang mobil itu juga ada beberapa gadis yang ikut menumpang. Tanpa diduga, si sopir memperlambat laju mobilnya di dekatku untuk memberikan kesempatan kepada teman-temannya mengejekku dan mengolokku di depan para gadis itu.

Jarakku dengan mobil itu hanya sekitar 3 meter karena memang jalan raya kecil itu tidak punya bahu jalan yang cukup lebar. Gadis-gadis di situ menjerit menahan malu. Tetapi aku yakin bahwa mereka sudah melihat ke arahku. Aku benar-benar merasa sangat rendah saat itu. Aku diolok-olok di depan umum dalam keadaan bugil dan kotor. Akhirnya, mereka berlalu juga.

Kejadian seperti itu berulang terus sepanjang aku menempuh perjalananku. Aku dilecehkan dan dicemooh oleh orang-orang. Aku terpaksa harus berjalan dalam keadaan telanjang bulat dan tubuh penuh dengan kotoran. Wanita-wanita yang kebetulan melihatku, tersenyum menahan malu. Tapi kemudian mereka juga berbisik-bisik dan tertawa menghinaku. Aku hampir-hampir tidak kuat menahan pelecehan itu. Tapi aku tidak punya pilihan lain selain kembali kepada Nyonya Hana. Kalau tidak, aku akan ditinggalkan selamanya di hutan tanpa pakaian. Cemoohan kepada diriku harus kutahan selama jarak lima kilometer.

Setelah berjalan sekian lama, akhirnya aku sampai juga ke sudut hutan yang sepi yang telah di tentukan Nyonya Hana. Dia menungguku di sana sambil tertawa terbahak-bahak melihatku datang. Dia berdiri berkacak pinggang penuh kemenangan. Setelah puas menatap keadaanku, Nyonya Hana tidak memberiku pakaian, tetapi langsung menyuruhku untuk masuk ke mobil dan membawaku kembali ke villa. Untungnya, kaca mobil Nyonya Hana sangat gelap, sehingga tubuh telanjangku tidak akan kelihatan dari luar.

Kami sampai di villa sudah siang. Mungkin sekitar pukul setengah dua belas. Saat itu matahari bersinar terik tanpa awan sedikit pun yang menutupinya. Hari itu menjadi siang yang sangat panas.

Nyonya Hana kemudian membawaku ke halaman belakang villa. Di sana terdapat sebuah tiang melengkung berbentuk huruf U terbalik yang lebih tinggi dariku. Tanpa memberiku kesempatan untuk beristirahat, Nyonya Hana langsung mengambil tali dan mengikat kedua tanganku di puncak tiang seperti keadaan tadi malam. Kedua tanganku terikat ke atas dan kakiku pun sedikit terangkat ke atas, sehingga aku hanya dapat bertumpu pada ujung jari-jari kaki.

Nyonya Hana lalu mengambil cambuk dan mencambuk tubuhku sekitar 30 cambukan keras. Aku hanya dapat berteriak kesakitan dan memohon ampun pada Nyonya Hana. Tapi dia tetap tidak perduli. Punggungku kembali terasa sakit karena luka cambukan semalam belum sembuh. Tubuhku penuh dengan keringat karena sinar matahari yang amat panas.

Setelah puas mencambukku, Nyonya Hana meninggalkanku begitu saja dijemur di bawah terik matahari yang menyengat. Tubuhku terasa sangat lemas. Mataku sudah berkunang-kunang. Yang kuingat, aku belum diberi makan oleh Nyonya Hana sejak penyiksaan dimulai tadi malam. Tubuhku yang kotor dan bugil dibakar sinar matahari sepanjang siang itu. Keringatku membasahi tubuhku dengan deras membuatku semakin lemas.

Sementara itu, punggungku terasa amat sakit akibat cambukan dan bagian depan tubuhku dan daerah sekitar kemaluanku masih memerah akibat siksaan panas lilin tadi malam. Aku benar-benar merasa seperti di neraka. Aku hanya ingat aku dijemur lama sekali. Akhirnya aku tidak kuat. Aku pingsan di tiang siksaan.

Ketika aku sadar, aku sudah berada di dalam villa. Hari sudah sore. Nyonya Hana ada di depanku membawa makanan. Aku sedikit gembira karena tubuhku sudah sangat lemas. Nyonya Hana kemudian memberiku makan saat itu. Namun tentu saja aku tidak dapat makan seperti orang biasa. Aku adalah seorang budak.

Nyonya Hana menaruh makanan yang dibawanya di mangkuk makanan anjing dan menyuruhku untuk makan dalam keadaan merangkak dan hanya boleh menggunakan mulut seperti layaknya seekor anjing. Harga diriku benar-benar diinjak-injak. Aku tahu bahwa anjing pun masih mendapatkan perlakuan yang lebih baik. Setidaknya, anjing masih diberikan makanan secara teratur dan disayang oleh majikannya. Sedangkan aku, jatah makanku saja terlambat dan aku pun selalu disiksa secara sadis oleh majikanku. Nyonya Hana benar-benar menempatkanku dalam posisi yang amat rendah. Bahkan lebih rendah dari anjing piaraannya.

Setelah makan, aku kembali dibimbing oleh Nyonya Hana menuju kamar mandi. Di sana tangan dan kakiku diikat dengan tali, kemudian pintu kamar mandi dikunci oleh Nyonya Hana. Setelah itu, Nyonya Hana pergi entah kemana. Aku sangat capek saat itu. Aku langsung tertidur dan baru dibangunkan oleh Nyonya Hana dini hari keesokannya. Nyonya Hana mengatakan bahwa sewa villa telah habis dan aku harus meninggalkan villa sebelum jam tujuh pagi. Setelah itu, Nyonya Hana langsung pergi meninggalkanku begitu saja yang masih telanjang bulat dan kotor seperti sampah.

Nyonya Hana akan datang lagi saat dia memerlukanku untuk dimaki dan disiksa secara sadis. Diperlakukan seperti budak dan direndahkan seperti anjing. Tapi aku tidak dapat menolak. Aku harus patuh padanya. Karena Nyonya Hana adalah majikanku dan aku adalah 'BUDAK'-nya.
antasy perbudakan sebagai anjing
Aku seorang pria 34 tahun penganut SADOMASOCHIS, yang selalu mengangankan pengalaman diikat, disiksa, diperolokan, dipermainkan, Cross-Dressing, dan sebagainya. Serta berharap pada suatu ketika kelak dapat mewujudkannya dalam kenyataan. Bagi pembaca yang ingin berkomentar/membantuku mewujudkannya dalam dunia nyata dapat menghubungiku melalui kontak email. Fantasiku antara lain sebagaimana yang akan kuceritakan berikut ini, maka selamat menikmati!

"Nah, sekarang permainan kita mulai. Lepaskan seluruh pakaianmu!" perintah wanita cantik bergaun kulit warna hitam tersebut. Dia tampak begitu perkasa. Jantungku berdebar membayangkan kenikmatan yang segera akan kurasakan. Kulepaskan baju dan celanaku. Batang kemaluanku mulai menegang. "Semuanya!" hardiknya ketika melihatku masih menyisakan celana dalam yang kukenakan. Debaran jantungku kian kencang. Kini tampillah aku apa adanya, bagaikan bayi dewasa, bugil sama-sekali, sementara itu si "kecil" sudah benar-benar tegang, dan dia tertawa melihatnya. "Ha, ha, ha.. sudah enggak sabar, ya? Aku tertunduk malu.

Sesuai kontrak dan skenario yang telah disepakati, aku akan melayani segala kebutuhannya sepanjang malam ini hingga pagi nanti. Aku akan menjalankan segala perintahnya tanpa perdebatan. Dia memiliki diriku seutuhnya. Dia berhak melakukan apapun terhadap diriku, dan aku kehilangan hak sama sekali terhadap diriku. Aku tidak akan melakukan apapun berkaitan dengan tubuhku tanpa perintahnya. Pengendalian terhadap diriku sepenuhnya berada di tangannya. Diriku tidak lebih sekedar benda-benda milik pribadinya yang dapat dia perlakukan sesukanya.

"Baguuss..! Sekarang kamu menjadi budak saya, benar?" tegasnya.
Aku mengangguk.
"Benar tidak?" hardiknya memastikan.
"I, i, iya.." jawabku terbata-bata.
Walaupun keadaan ini memang kudambakan, namun tetap saja ketegangan mencekam hatiku, menduga-duga segala kemungkinan yang akan menimpaku; sungguh mendebarkan.
"Iya apa?" bentaknya.
"I.. Iya Nyonya!" sahutku segera.
"Kamu siapa?"
"Sa-saya budakmu, Nyonya."
"Sayyaa..?" tanyanya sinis.
"Ham, Hamba, Nyonya!" sahutku dengan perasaan menyesal.
"Bagus..!" Senyum kemenangan membayang di wajahnya.
"Apa yang akan kamu kerjakan?"
"Apa saja, asal dapat menyenangkan Nyonya."
"Hmm.., bagaimana?" Senyumnya menggoda.
"Terserah Nyonya. Perintahkan apa saja, pasti akan hamba kerjakan."
"Ha, ha, ha, ha, ha.. Baiklah.."
Berhenti sejenak, lalu lanjutnya, "Kita mulai dengan perlengkapanmu dulu. Ambil peti itu!" perintahnya sambil menunjuk ke sebuah peti yang terdapat di sudut ruangan.

Aku segera melangkah dan mengangkatnya ke hadapan wanita itu. Dia menyuruh aku membuka dan mengeluarkan seluruh isinya. Dari dalam kotak itu aku mengeluarkan beberapa gulung tali-temali, rantai, borgol, kekang leher, penjepit jemuran, lakban, cambuk, dan sebagainya. Degup jantungku serasa menghentak-hentak membayangkan kenikmatan yang segera akan dihadiahkannya.

Disuruhnya aku telungkup. Lalu dilipatnya kaki kananku. Dengan seutas tali diikatnya pergelangan kakiku menyatu ke pangkal paha; begitu juga dengan kaki kiriku. Ikatan ini begitu ketat, sehingga tidak memberikan ruang gerak sedikitpun antara pergelangan dan paha, benar-benar menyatu rapat. Kemudian dia meyuruhku duduk, lalu merapatkan jari-jari tanganku untuk kemudian dibelit dengan lakban, sehingga telapak tanganku tak dapat dimekarkan. Diambilnya kekang leher yang terbuat dari kulit dan dibelitkan ke leherku. Masih belum puas, dipungutnya 2 jepitan jemuran yang terangkai menjadi satu oleh seutas rantai.

"Aduh!" jeritku ketika jepitan pertama menjepit dada kiriku, persis di bagian pentilnya yang sangat kecil. Kengerian bercampur nikmat tergambar di wajahku saat dia mulai mengarahkan penjepit kedua ke dada kananku. "Aduuhh.. akkhh.. hh..!" erangku, sakit tapi nikmat. Dia menyeringai puas melihat penderitaanku. Beberapa saat dipermainkannya rantai penghubung kedua jepitan tersebut; ditarik-dilepaskan; yang tentu saja tambah menyakitkan dadaku. Kukatupkan erat kedua rahangku menahankan rasa perih yang kian menusuk, mengimbanginya dengan semakin memusatkan pikiran pada sensasi kenikmatan yang menyertai. Seringainya makin lebar, kedua matanya tampak berbinar-binar. Sesekali disorongkannya wajahnya dan menjulurkan lidah menggesek dadaku di sekitar alat penjepit itu.

"Ahh.. nikmatnya!" pikirku.

Tak lama kemudian rasa perih mulai mereda, tampaknya tubuhku telah mulai dapat menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Kemudian dengan sebelah tangan digenggamnya batang kemaluanku yang telah tegang sejak tadi dan perlahan dikocoknya. Ujungnya sudah mulai basah. Diusap, lalu dia mengarahkan tangannya ke wajahku. Aku segera menyambutnya dengan membuka mulut dalam posisi siap untuk mengemutnya. Namun dia hanya mengoleskannya saja ke bibirku. Bibirku terasa lengket. Diusapnya lagi ujung kemaluanku, dan kembali membawanya ke mulutku. Kali ini tanpa buang-buang waktu segera saja kuterkam telunjuknya dan mengemutinya dengan penuh nafsu; menikmati cairanku sendiri.

"Ha, ha, ha, ha, ha, ha, ha..! Aduuh, enggak sabar, ya? Enaknya, produksi sendiri, lagi?" Aku mengangguk berulang-ulang. Tawa cemoohannya menderai. Kembali dia mengambil cairan itu dan ketika aku kembali menerkam, dia menarik tangannya. "Jangan!" bentaknya melarang. Aku segera menghentikan gerakan dan menatapnya dengan agak kecewa. "Tidak boleh diemut, jilat seperti makan es krim!" tegasnya. Aku menuruti, dan dia kembali tertawa-tawa.

Setelah itu dia melangkah ke arah ranjang, dan duduk di pinggirnya. "Bawa kemari cambuk itu!" sambil menunjuk rantai yang tergeletak di samping peti di dekatku. Aku diam, tak mengerti. "Ambil dengan mulutmu, lalu bawa kemari!" Kurendahkan wajahku dan mengarahkan mulut memungut cambuk kulit yang dia maksudkan. Lalu aku merangkak mendekati ranjang. Dia diam saja. Kusorongkan mukaku mendekati telapak tangan kanannya. Dia tersenyum dan membuka telapak tangannya. Kulepaskan jepitan bibirku, sehingga cambuk tersebut bergulir ke telapak tangannya.

"Pintar sekali, rupanya kamu cepat mengerti. Melihat caramu kemari tadi, aku teringat pada sesuatu, kamu tahu, kan?" Aku agak ragu dengan maksud ucapannya.
"Itu loh.. yang jalannya seperti kamu tadi ituu.. Kalau enggak salah seekor binatang, apa yaa..?" Jantungku kembali berdebar.
Aku paham benar, dia sedang mengolok-olokku.
"Hei, apa namanya, jawab!" bentaknya.
"Aaa.. ann.. anjing, Nyonya." jawabku terbata-bata sambil menundukkan kepala.
"Ohh iyaa.. benar juga, anjing yaa?" tegasnya.
Senyumnya terasa menyakitkan.
"Jadi yang begitu itu namanya anjing, ya?"
"Benar, nyonya."
"Kalau begitu kamu siapa?"

Jantungku kian berdebar. Begitu hinakah diriku? Perih sekali hati ini. Aku hanya menunduk tak mampu menjawabnya. Tiba-tiba TAR! Lecutan cambuk mendera badanku,
"Jawab!" TAR! TAR!
"Am.. ampun, Nyonya!" aku mengangkat tangan berusaha mencegahnya, tapi dia malah semakin kalap, TAR!
"Kamu siapa, jawab!" TAR!
"Aaa.. anjing, Nyonya! Anjiing!" jawabku.
"Apa!"
"Anjing, Nyonya?"
"Siapa?" Bentakannya kian tinggi.
"Hamba, Nyonya."
TAR!
"Jawab yang lengkap! Siapa yang anjing?"
"Hamba, Nyonyaa.. hambaa.." jawabku memelas.
"Hamba yang anjing."
"Coba ulangi!" nadanya mengancam.
"Hamba anjing."
"Lagi!" makin tinggi nada suaranya.
"Hamba anjing, hamba anjing, hamba anjing, hamba anjing, hamba.." jawabku berulang-ulang tanpa berani berhenti sebab tangannya sudah terlihat hendak kembali mengayunkan cambuk itu.

"Baguuss, itu baru pintar namanya! Tapi anjing kok bisa ngomong, ya? Kayaknya anjing enggak bisa ngomong, deh, benar enggak!" Aku kebingungan.
"Anjing bisa ngomong, enggak?" ulangnya.
"Eng.. enggak, Nyonya!" sahutku.
"Lho, kok ngomong lagi?"
Aku makin bingung, ditanya tapi disalahkan ketika menjawabnya.
"Anjing bisa ngomong enggak?"
Aku menggeleng. TAR! Cambuknya turut bicara.
"Heh, kamu anjing bisu, ya?"
"Enggak, Nyonya, enggaak..!"
"Kamu ini bodoh sekali sih?"
TAR! TAR! Aku menggeliat-geliat menahan sakit.
"Kalau kamu anjing, ya pakai bahasa anjing, dong?"
"Oh begitu maksudnya," pikirku.
Dengan ragu-ragu aku mencoba menyahutinya,
"Guk.. guk.. guuk..!"

"Ha, ha, ha, ha.. pintar!" pujinya.
"Mulai sekarang kamu menggonggong satu kali untuk iya dan dua kali untuk tidak, mengerti?"
"Menger.." jawabanku terpotong melihat gerakan tangannya yang kembali akan mengayunkan cambuk.
"Eh, maaf, eh.. guk! guk!" sahutku gelagapan.
"Bagus! Kamu harus menuruti segala perintah dan menjawab seluruh pertanyaanku, mengerti?"
"Guk!"
"Nah, sekarang kembali ke sana, dan ambilkan rantai itu!" Aku kembali merangkak ke arah peti, memungut seutas rantai dengan mulut dan kembali ke ranjang. "Kamu memang anjing pintar, pantas untuk dipelihara!" katanya sambil menerima rantai yang kusorongkan padanya dengan mulutku. Pada salah satu ujung rantai tersebut sudah terpasang kaitan, yang kemudian dia kaitkan pada ring yang terdapat di kekang leherku. "Makanya kamu harus dipasangi rantai supaya tidak ngabur, benar?"
"Guk!"
"Kamu senang, budak?"
"Guk!"
"Bagus..!" katanya sambil mengelus-elus kepalaku.

Tiba-tiba dia tangannya menekan ranjang hingga pantatnya sedikit terangkat dan lalu memerintahkanku melepaskan roknya dengan mulut. Aku menurut. Perlu perjuangan yang melelahkan untuk melakukannya. Selesai dengan rok, tiba giliran celana dalamnya. Dengan susah payah akhirnya aku berhasil juga melepaskannya. "Kemarikan!" Dia meminta celana dalamnya. Dengan mulut kupungut celana dalamnya dari lantai dan memberikannya pada Nyonyaku. Dia menerimanya sambil tersenyum dan lalu memasangkannya ke kepalaku bagaikan topeng. Bau pengap bercampur aroma kewanitaan segera menerobos penciumanku. Si kecil kian mengeras. Hasratku kian bergelora dirangsang oleh aroma celana dalamnya ini. Ditariknya rantai di leherku, sehingga kepalaku mendekati selengkangannya yang telah dia rentangkan lebar. Aku mengerti, dan mulai menjilati liang kemaluannya.

Dicondongkannya badannya ke belakang. Tak lama kemudian dia mulai menggelinjang kenikmatan. Sesekali terdengar desahannya, "Ahh.. aah.. aahh.. teruuss.. teruus.. aahh.. hh, teruuss.. ahh.." Dirundukkannya badannya, dan menarik rantai sehingga kepalaku mendongak ke atas. Sekarang ganti puting susunya yang kuhisap-hisap. Sesekali kuelus-elus puting itu dengan lidahku. Desahannya makin menjadi-jadi. Akhirnya dia tak tahan lagi. Direbahkan dan diperosotkannya badannya ke lantai dan menyuruhku segera menancapkan batang kemaluanku pada liangnya.

"Hah, hah, hah, hah, hah, hah.." Napasnya tersenggal-senggal. Tubuhnya bergetar keras, makin keras, napasnya semakin cepat, dan, "Ahh.. hhk..!" dia melenguh panjang setelah mencapai orgasme. Dia terbaring kelelahan beberapa saat, sementara aku tetap saja dalam posisi merangkak gaya anjing. Tak lama kemudian dia bangkit melepaskan celana dalamnya dari wajahku, mengusapkan pada kemaluannya, kemudian menggulungnya menjadi bola dan dimasukkan ke dalam mulutku. Rasa dingin dan aneh menyentuh lidahku. Dia beranjak ke lemari pakaian mengambil celana dalam pengganti dan memakainya. Lalu dipakainya kembali rok kulit ketat yang dikenakannya semula, kemudian melangkah ke arah peti dan mengambil lakban. Setelah itu dia kembali menghampiriku dan membelitkan lakban itu disekeliling kepala untuk mencegahku mengeluarkan celana dalamnya. Diambilnya seutas tali dan diikatkan pada batang kemaluanku. Tali itu melilit mulai dari pangkal batang terus hingga bagian kepalanya. Lalu rantai yang semula terhubung pada kekang leherku dilepaskan dan dipindahkan mengait tali pada bagian ujung kemaluanku. Ujung rantai yang sebelah dibelitkan pada pergelangan kaki kirinya.

"Saatnya untuk jalan-jalan!" katanya sambil mulai beranjak. Batanganku tertarik mengikuti ayunan langkahnya. Kini, kemanapun dia melangkah aku terpaksa merangkak mengikutinya. Sesekali langkah kaki kanannya agak dilebarkan sehingga menyentakkan batang kemaluanku, menimbulkan rasa ngilu, tapi aku menikmati semua itu. Semakin tak berdayanya diriku, semakin berbinar kenikmatan yang kurasakan. Aku harus gesit menuruti langkahnya, sebab jika tidak maka kemaluanku rasanya akan copot, belum lagi deraan cambuk yang dilecutkannya ke punggungku setiap kali aku agak tertinggal.

Tiba di dekat peti diambilnya segulung tali dan dimasukkan ke dalam saku roknya. Setelah berjalan-jalan mengelilingi ruangan beberapa kali, dia membuka pintu kamar menuju ke dapur. Diambilnya sebuah gelas dan sebotol air es dari kulkas, dan toples makanan kecil, lalu meninggalkan dapur menuju ke ruang tengah. Aku terus merangkak mengikuti setiap langkahnya.

Tiba di ruang tengah dia mengisi gelasnya, dan minum beberapa teguk, lalu gelas dan botol itu diletakkan di atas meja dekat kursi malas. Setelah menyalakan TV, dia duduk di kursi malas itu, mengayun-ayunkan diri, sementara aku bersimpuh di lantai di hadapannya dengan kedua tangan diluruskan sebagaimana seharusnya; beginilah aku, beginilah biasanya seekor anjing duduk menunggui tuannya. Aku telah diperintahkan untuk mengarahkan pandangan hanya menatap ujung jari kakinya. Dan aku menaatinya dengan penuh kepatuhan.

Sesaat kemudian dia menyentakkan kaki kanannya ke belakangnya, sehingga kemaluanku tersentak. Aku mengangkat muka untuk mengetahui maksud sentakannya, namun lecutan cambuknya membuatku teringat dan kembali menundukkan muka. Ditariknya kakinya ke belakang, sehingga aku bangkit dari duduk dan merangkak maju mendekati kakinya. Dia membungkuk melepaskan lakban yang membelit wajahku dan mengeluarkan sumpalan celana dalamnya dari mulutku. Setelah itu dilonjorkannya kaki kirinya ke arah wajahku. Aku paham, dan mulai menjilati ujung-ujung jari kakiya. Setelah semua jari selesai kujilati, didongakkannya pergelangan kakinya, dan aku melanjutkan menjilati telapak kakinya. Dia menyenderkan tubuhnya berayun-ayun di kursi malas sambil menonton TV, minum, mengunyah cemilannya sambil menikmati pencucian kaki yang sedang kukerjakan. Semua ini begitu menggairahkan bagiku. Dengan penuh kesungguhan kujilati setiap jengkal kakinya, terus ke punggung kaki hingga mata kaki. Selesai dengan kaki kiri, dia berganti menyodorkan kaki kanannya. Kuberikan pelayanan yang serupa. Setiap kali lidahku terasa mengering, kudecak-decakkan mulut untuk mengeluarkan air liur, lalu kembali menjilati kakinya.

"Sudah bersih?" tanyanya beberapa saat kemudian.
"Guk!" jawabku mengiyakan.
"Pintaar.. kamu haus, ya?" Aku tak menjawab.
"Kamu haus, kan?" nadanya mulai mengancam.
"Guk!" jawabku sambil bertanya-tanya dalam hati, "Apa lagi, sekarang?"

Dia mengambil botol air dari atas meja, dan menuangkan ke punggung telapak kakinya dan berkata, "Minum!" Aku menjilati aliran air dingin di kakinya. Dia tersenyum senang dan kembali menuangkan air, agak banyak hingga mengalir ke lantai dan aku memburu aliran air itu menjilati lantai.
"Ha, ha, ha, ha.. cocok sekali! Kamu memang benar-benar anjing, koq!" ejeknya.
"Guk!"
"Enak, kan?"
"Guk!"
"Bagus, gonggong terus sambil jilat!" ujarnya sambil menuangkan kembali botol air itu ke lantai.
"Guk.. Guk.. Guk.. Guk! Guk!" sahutku sambil terus menjilati lantai.
Diambilnya cemilan dan diremasnya hingga hancur kemudian diburaikan ke lantai. Aku pun meraih serpihan-serpihan itu dengan lidahku dan memasukkannya ke mulut. Dia terus tertawa-tawa kesenangan dan aku kian menikmati penghambaanku.

Akhirnya setelah air di dalam botol terbuang habis, begitupun cemilannya, dia bangkit menuju pintu belakang. Aku terus merangkak mengikutinya. Dibukanya pintu, dinginnya angin malam segera menyapu tubuhku yang telanjang. Kemudian dia menyalakan lampu, dan tampaklah sebuah taman terbuka yang rimbun dibatasi dengan tembok tinggi. Dia menunjuk ke tengah taman. Aku mengarahkan pandangan ke tempat yang ditunjuknya. Ternyata di sana terdapat sebuah kandang besi berukuran 50 cm X 40 cm dan tinggi sekitar 50 cm. Jantungku berdegup keras, "Oh jangan, jangan di luar, jangan di kandang itu.." ratapku dalam hati sambil menduga-duga. Dia melangkahkan kaki menuju kandang, dan bagaikan mengerti pikiran yang terlintas di benakku, dia berkata, "Benar sekali! Sebagai imbalan atas sikap baikmu malam ini, Nyonyamu menghadiahkan sebuah rumah baru untukmu! Ha, ha, ha.."

"Ayo, nikmati rumah barumu ini," lanjutnya sambil terus mendekati kandang.
"Coba lihat, ukurannya pas 'kan? Kamu pasti senang, benar kan?"
"Guk!" sahutku tidak yakin.
"Setiap anjing punya kandang, kan?"
"Guk! ..Guk, Guk!"

Entah bagaimana perasaanku saat ini. Rasa terhina tentu saja ada, namun terselip suatu bentuk kegairahan yang mendebarkan. Aku langsung membayangkan betapa setidaknya untuk malam ini aku harus meringkuk di dalamnya hingga pagi, kuatkah, aku? Membandingkan ukuran kandang itu dengan tubuhnya, sudah pasti aku tidak akan dapat meluruskan tubuh. Kuatkah aku menahan rasa pegal yang sudah kurasakan sejak tadi hingga esok pagi nanti? Tapi, oh betapa aku belum pernah mengalaminya. Sepertinya asyik juga. Kutatap kemaluanku yang tetap tegang, bahkan kian keras. Jika saja tidak ada tali yang mengekangnya, mungkin sudah sejak tadi aku menyemprotkan sperma. Mendapatkan betapa tegangnya batang itu, aku menjadi tambah yakin bahwa ini akan terasa nikmat. Ohh.. betapa aku sangat ingin merasakan menghabiskan malam di dalam kandang di luar rumah, sebagaimana seharusnya seekor anjing sesuai dengan peranku malam ini.

Sesampainya di depan kandang, dilepaskannya jepitan jemuran yang telah sejak tadi menjepit pentil dadaku. Betapa sakitnya terasa ketika darah mulai mengaliri daerah yang terjepit tadi. Kemudian dia merogoh saku dan mengeluarkan gulungan tali yang dikantonginya sejak tadi. Dibuatnya simpul mati pada pergelangan tangan kananku, lalu melipat sikuku ke arah atas sehingga aku bagaikan sedang berusaha meraih pundak. Kemudian tali tadi dibelitkan pula pada pangkal lengan sehingga tanganku tertahan dalam posisi demikian. Lalu ujung tali tersebut dia alirkan melalui ring yang terdapat di bagian belakang kekang leherku menuju ke bahu kiri dan melakukan ikatan yang sama dengan lengan kananku tadi. Kini aku merangkak dengan agak menungging, karena bagian tangan yang menyentuh tanah adalah siku, tidak telapak tangan seperti semula.

Setelah semua beres, sambil tertawa dibukanya pintu kandang, "Ha, ha, ha.. Ayo masuk, jangan malu-malu-malu!" perintahnya sambil menendang pinggulku. Aku terdorong memasuki kandang. Dengan agak ragu kuteruskan merangkak hingga seluruh tubuhku berada di dalam kandang. Dijulurkannya tangannya ke dalam kandang memungut rantai yang terhubung ke kemaluanku, lalu melemparkannya ke arah dalam melalui bawah perutku. Setelah itu dia menutup pintu kandang, dan mengunci gemboknya. Ternyata ukuran kandang itu pas benar, sehingga aku tidak dapat menggerakkan badan untuk maju, mundur, atau merenggangkan badan. Lalu dia berputar ke ujung kandang di bagian depanku. Dirogohkannya tangan memungut ujung rantai yang dilemparkannya tadi dan membelitkannya pada jeruji kandang di hadapanku. Ditariknya rantai tersebut hingga terentang agak tegang, dan kemudian mengaitkan gembok menguncinya.

"Selamat menikmati rumah baru, ha, ha, ha! Tidur yang nyenyak, ya? Kamu harus memulihkan tenaga untuk permainan besok, ha, ha, ha!" katanya sambil melangkah pergi meninggalkan kandang, kembali ke dalam rumah. Terdengar langkahnya kian menjauh dan diakhiri dengan derit pintu belakang yang ditutupnya.

Tinggallah kini aku sendirian di keheningan malam. Meringkuk telanjang bulat di dalam kandang anjing di luar rumah, di halaman belakang. Dinginnya embun malam menusuk kulit hingga ke tulang. Aku merenung membayangkan apa yang akan terjadi besok. Tapi renunganku kerap terganggu oleh dengingan nyamuk ditelinga, maupun rasa perih akibat gigitannya. Aku berusaha menghindar dengan menggerak-gerakkan badan, namun hal ini membuat kemaluanku tersentak-sentak, sementara tanganku tak mampu bergerak. Akhirnya aku pasrah saja terhadap setiap serangan nyamuk-nyamuk keparat itu. Rasa pegal dan kesemutan menjalari setiap seluk tubuhku. Aku terus membayangkan peran-peran apa lagi yang akan kumainkan di hari-hari berikutnya? Siksaan apa? Hinaan apa? "Ah.. nikmatnya..!" lamunku. Fantasiku mengembara makin jauh, hingga akhirnya tanpa sadar aku pun terlelap dalam ketakberdayaan yang nikmat ini.

1 komentar: